Kamis, 01 November 2012

“Sex Education Solusi Dini Terhadap Remaja Masa Kini”


Berdasarkan data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 47,54 persen remaja-remaja di Indonesia mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. Sementara data hasil survei pada tahun 2008 oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan menunjukkan, sebanyak 63 persen remaja SMP sudah melakukan hubungan seks. Sedangkan 21 persen siswa SMA pernah melakukan aborsi. Fakta tersebut membuktikan bahwa kasus ini banyak terjadi di kalangan pelajar sekolah menengah sampai kalangan mahasiswa. Sehingga hal ini menjadi catatan hitam di dalam dunia pendidikan Indonesia. Lebih gawatnya lagi, seks bebas (free sex) itu kini telah menjadi tren oleh beberapa kelompok pelajar serta merupakan bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Di Indonesia, jumlah lelaki pelanggan Pekerja Seks Komersial (PSK) pun mencapai 3.170.000 orang dan perempuan PSK sekitar 214.000 orang (tempointeraktif.com, 28/12-2010). Jumlah ini meningkat setiap tahunnya. Sehingga Penyakit Menular Seksual (PSM) sudah banyak menyebar di kalangan remaja. Seperti halnya yang ditunjukkan data survei Kesehatan Reproduksi Remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik (2009) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan. Ini tentu merupakan sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan.
Menyimak fenomena tersebut, segala peraturan dan tindakan hukum telah dilakukan. Akan tetapi masih saja sulit untuk diatasi dan belum ditemukan solusi yang terbaik. Jika dicermati maraknya tindakan asusila dan pergaulan bebas (free sex) di beberapa kelompok pelajar disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor penyebab utamanya yaitu minimnya pengetahuan seks yang benar dan terpadu melalui pendidikan formal (sekolah) maupun informal (orang tua).
Oleh karenanya, hemat penulis sex education sudah seharusnya diberikan kepada peserta didik sejak dini, terlebih buat yang sudah beranjak remaja, meskipun masih diambang pro dan kontra. Namun hal ini penulis anggap penting karena mengacu pada dua aspek, yaitu untuk mencegah ambigunya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Karena rata-rata saat para pelajar tumbuh menjadi remaja, mereka belum mengerti dengan seks, sebab orang tua masih menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adalah hal yang tabu. Sehingga para pelajar yang begitu penasaran akan pengetahuan seks akan mencari tahu sendiri informasi terkait seks melalui berbagai media. Karena saat ini berbeda dengan pada masa lalu, informasi tentang seks begitu gampangnya diakses oleh siapapun. Apalagi sikap remaja saat ini sangat kritis, yang selalu ingin tahu dan ingin mencoba.
Bahkan akibat faktor tersebutlah, mereka tanpa sadar telah terjerumus ke dalam hal-hal negatif seperti free sex, tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, sampai pada penularan PSM seperti halnya HIV AIDS. Hal inilah yang dijadikan aspek kedua.
Sesungguhnya tidak bisa dipungkiri jika berbicara tentang seks di mana saja adalah topik yang seru dan heboh. Norma dalam masyarakat pun menganggap bahasan seks masih tabu untuk dibicarakan secara transparan dan hanya untuk konsumsi mereka yang dewasa. Terlepas dari itu semua, saat ini seks bukan lagi merupakan hal yang heboh dan tabu yang membuat kita malu-malu untuk membahasnya. Karena yang terpenting adalah manfaat yang bisa kita petik.
Maka dari itu kini perlu ditekankan kembali pentingnya sex education diberikan kepada anak-anak sampai usia dewasa. Namun sebelumnya perlu dipahami bahwa sex education ini bukan berarti untuk mendorong anak didik mempraktikan perilaku seks dengan lawan jenisnya. Namun justru untuk mencegah dan melindungi anak didik dari segala tindakan yang mengarah pada seks bebas serta diberikan informasi dan pembelajaran seks yang benar.
Setiap sekolah dan para pendidiknya harus menyadari bahwa pada era sekarang ini pendidikan seks sangat penting untuk mengawal tumbuh kembang anak remaja. Maka dari itu perlu adanya kebijakan memasukan pendidikan seks (sex education) ke dalam kurikulum sekolah maupun mengarahkan terhadap setiap orang tua agar memberikan pendidikan seks terhadap putra-putrinya. Karena sebenarnya orang tua memegang peran penting dalam memberikan edukasi tentang seks pada putra-putrinya, dan sekolah hanya membantu. Karena selama sehari 2/3-nya anak berada di rumah.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah cara menyampaikan pendidikan seks harus diintegrasikan dengan pendidikan agama. Karena peran agama sendiri adalah mendidik moral. Terutama lebih ditekankan tentang hukum dalam agama termasuk siksa dan sanksinya, juga moral dalam pandangan keluarga dan masyarakat sekitar.
Sex education itu harus diajarkan sedini mungkin dan setiap tahapan perkembangan anak pun harus berbeda edukasi yang diberikan. Selain itu juga harus diberikan dengan penjelasan yang jelas dan berhati-hati agar tidak terjadi salah penafsiran bagi si anak. Selanjutnya disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang, latar pendidikan, dan latar keluarga.
Untuk itu perlu adanya penyamaan persepsi tentang sex education. Bahwasanya sex education bukan mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang baik, tapi membekali diri agar dapat mengubah perilaku seksualnya ke arah yang lebih bertanggungjawab atau belajar apa yang akan timbul (dampak) dari aktivitas seks tersebut bagi peserta didik.
Menyangkut tentang kesehatan reproduksi remaja yang juga menjadi program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Maka sebaiknya sekolah juga bekerjasama dengan BKKBN maupun dinas terkait lainnya. Pendidikan seks di sekolah bisa juga berbasiskan komunitas sekolah yang diisi kegiatan diskusi rutin, maupun pembelajaran terkait pemahaman seks yang benar oleh Guru BK maupun guru Biologi yang lebih mumpuni terkait topik ini.
Pada intinya sex education ini sebenarnya mempunyai pembahasan yang komplek. Mencakup masalah psikologi, sosio-kultural, agama dan kesehatan. Maka dianggap sangat perlu untuk segera merumuskan kurikulum sex education sebagai sarana pencerahan bagi anak-anak maupun remaja, agar tidak tersesat lagi akibat menjadi korban buta seks. Apabila tak berbenah dari sekarang, dalam sepuluh tahun lagi kemungkinan besar kasus seperti ini pelakunya bukan lagi serendah anak SMP, tapi bisa anak-anak yang masih SD juga sudah pada belajar dan menjajal. Wallahu a’lam