Di
Indonesia, jumlah lelaki pelanggan Pekerja Seks Komersial (PSK) pun
mencapai 3.170.000 orang dan perempuan PSK sekitar 214.000 orang
(tempointeraktif.com, 28/12-2010). Jumlah ini meningkat setiap tahunnya.
Sehingga Penyakit Menular Seksual (PSM) sudah banyak menyebar di
kalangan remaja. Seperti halnya yang ditunjukkan data survei
Kesehatan Reproduksi Remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik
(2009) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan
fakta yang mencengangkan. Ini tentu merupakan sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan.
Menyimak
fenomena tersebut, segala peraturan dan tindakan hukum telah dilakukan.
Akan tetapi masih saja sulit untuk diatasi dan belum ditemukan solusi
yang terbaik. Jika dicermati maraknya tindakan asusila dan pergaulan
bebas (free sex) di beberapa kelompok pelajar disebabkan oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor penyebab utamanya yaitu minimnya
pengetahuan seks yang benar dan terpadu melalui pendidikan formal
(sekolah) maupun informal (orang tua).
Oleh karenanya, hemat penulis sex education
sudah seharusnya diberikan kepada peserta didik sejak dini, terlebih
buat yang sudah beranjak remaja, meskipun masih diambang pro dan kontra.
Namun hal ini penulis anggap penting karena mengacu pada dua aspek,
yaitu untuk mencegah ambigunya pendidikan seks maupun pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Karena rata-rata saat
para pelajar tumbuh menjadi remaja, mereka belum mengerti dengan seks,
sebab orang tua masih menganggap bahwa membicarakan mengenai seks adalah
hal yang tabu. Sehingga para pelajar yang begitu penasaran akan
pengetahuan seks akan mencari tahu sendiri informasi terkait seks
melalui berbagai media. Karena saat ini berbeda dengan pada masa lalu, informasi tentang seks begitu gampangnya diakses oleh siapapun. Apalagi sikap remaja saat ini sangat kritis, yang selalu ingin tahu dan ingin mencoba.
Bahkan akibat faktor tersebutlah, mereka tanpa sadar telah terjerumus ke dalam hal-hal negatif seperti free sex,
tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan,
sampai pada penularan PSM seperti halnya HIV AIDS. Hal inilah yang
dijadikan aspek kedua.
Sesungguhnya tidak bisa dipungkiri jika berbicara tentang seks di mana saja adalah topik yang seru dan heboh. Norma dalam masyarakat pun menganggap bahasan seks masih tabu untuk dibicarakan secara transparan dan hanya untuk konsumsi mereka yang dewasa. Terlepas
dari itu semua, saat ini seks bukan lagi merupakan hal yang heboh dan
tabu yang membuat kita malu-malu untuk membahasnya. Karena yang
terpenting adalah manfaat yang bisa kita petik.
Maka dari itu kini perlu ditekankan kembali pentingnya sex education diberikan kepada anak-anak sampai usia dewasa. Namun sebelumnya perlu dipahami bahwa sex education
ini bukan berarti untuk mendorong anak didik mempraktikan perilaku seks
dengan lawan jenisnya. Namun justru untuk mencegah dan melindungi anak
didik dari segala tindakan yang mengarah pada seks bebas serta diberikan
informasi dan pembelajaran seks yang benar.
Setiap
sekolah dan para pendidiknya harus menyadari bahwa pada era sekarang
ini pendidikan seks sangat penting untuk mengawal tumbuh kembang anak
remaja. Maka dari itu perlu adanya kebijakan memasukan pendidikan seks (sex education)
ke dalam kurikulum sekolah maupun mengarahkan terhadap setiap orang tua
agar memberikan pendidikan seks terhadap putra-putrinya. Karena
sebenarnya orang tua memegang peran penting dalam memberikan edukasi tentang seks pada putra-putrinya, dan sekolah hanya membantu. Karena selama sehari 2/3-nya anak berada di rumah.
Adapun
yang perlu diperhatikan adalah cara menyampaikan pendidikan seks harus
diintegrasikan dengan pendidikan agama. Karena peran agama sendiri
adalah mendidik moral. Terutama lebih ditekankan tentang hukum dalam
agama termasuk siksa dan sanksinya, juga moral dalam pandangan keluarga
dan masyarakat sekitar.
Sex education itu harus diajarkan sedini mungkin dan setiap tahapan perkembangan anak pun harus berbeda edukasi yang diberikan. Selain itu juga harus diberikan dengan penjelasan yang jelas dan berhati-hati agar tidak terjadi salah penafsiran bagi si anak. Selanjutnya disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang, latar pendidikan, dan latar keluarga.
Untuk itu perlu adanya penyamaan persepsi tentang sex education. Bahwasanya sex education
bukan mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang baik, tapi
membekali diri agar dapat mengubah perilaku seksualnya ke arah yang
lebih bertanggungjawab atau belajar apa yang akan timbul (dampak) dari
aktivitas seks tersebut bagi peserta didik.
Menyangkut
tentang kesehatan reproduksi remaja yang juga menjadi program Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Maka sebaiknya
sekolah juga bekerjasama dengan BKKBN maupun dinas terkait lainnya.
Pendidikan seks di sekolah bisa juga berbasiskan komunitas sekolah yang
diisi kegiatan diskusi rutin, maupun pembelajaran terkait pemahaman seks
yang benar oleh Guru BK maupun guru Biologi yang lebih mumpuni terkait
topik ini.
Pada intinya sex education
ini sebenarnya mempunyai pembahasan yang komplek. Mencakup masalah
psikologi, sosio-kultural, agama dan kesehatan. Maka dianggap sangat
perlu untuk segera merumuskan kurikulum sex education sebagai
sarana pencerahan bagi anak-anak maupun remaja, agar tidak tersesat lagi
akibat menjadi korban buta seks. Apabila tak berbenah dari sekarang,
dalam sepuluh tahun lagi kemungkinan besar kasus seperti ini pelakunya
bukan lagi serendah anak SMP, tapi bisa anak-anak yang masih SD juga
sudah pada belajar dan menjajal. Wallahu a’lam