Lokasi penelitian diambil di kota Denpasar dengan pertimbangan bahwa
masyarakat di perkotaan lebih heterogen sifatnya dan wanita yang berada diperkotaan
lebih banyak menyerap informasi dari media massa serta pola hidupnya lebih modern
dibandingkan dengan wanita pedesaan
Data-data yang diperoleh di lapangan diolah dengan memanfaatkan software
komputer statistik SPSS versi 11.0 for window.
Metode analisis yang digunakan
disesuaikan dengan tujuan penelitian, ditetapkan taraf signifikansi sebesar 10%. Analisis
kuantitatif dilakukan dengan Tabel Kontingensi. Uji dua arah Tabel Kontingensi adalah
suatu metode untuk menguji apakah dua katagori mempunyai hubungan atau tidak.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam beberapa kasus perselingkuhan sex mungkin tidak dilibatkan, hubungan
yang terjadi bisa jadi hanyalah berupa hubungan emosional. Perselingkuhan yang
melibatkan hati dan perasaan biasanya lebih berbahaya dibanding perselingkuhan yang
bersifat fisik. Wanita, khususnya cenderung untuk meninggalkan suaminya ketika mereka
merasa terikat akan perasaan emosional yang kuat pada laki-laki lain ( Anderson, K,
2002).
Apakah kira-kira penyebab tindakan selingkuh bisa terjadi ?. Hasil penelitian
(table 1) menunjukkan bahwa 22% memberikan jawaban bahwa perselingkuhan
disebabkan oleh kurangnya komunikasi dalam kehidupan rumah tangga pelaku
selingkuh. Kurangnya komunikasi bisa disebabkan karena salah satu dari pasangan
tersebut terlalu sibuk dengan karier atau hobbynya. Kurang komunikasi dapat juga
disebabkan karena sebagian besar pasangan menikah beranggapan pasangannya pasti
sudah tahu keinginan-keinginanya tanpa perlu diungkapkan secara jelas. Faktor
7
ekonomi, psikologi, sosial dalam rumah tangga juga merupakan penyebab adanya
tindakan selingkuh, hal ini dijawab oleh 16% dari keseluruhan responden yang
diwawancarai. Faktor adanya godaan wanita lain, ingin mencari selingan dan faktorfaktor
yang bersifat datangnya dari luar rumah tangga juga merupakan penyebab tindakan
selingkuh (34%) dan hanya 8% responden yang menjawab bahwa salah satu pasangan
terlalu mendominasi menjadi faktor penyebab adanya tindakan selingkuh.
Tabel 1. Persepsi Responden Mengenai Faktor Dominan Penyebab Timbulnya Selingkuh.
No. Faktor Dominan Penyebab Perselingkuhan Jumlah %
1 Kurang Komunikasi 11 22.0
2 Faktor Ekonomi 8 16.0
3 Kurang perhatian pasangan, terutama untuk kebutuhan
batin
10 20.0
4 Faktor lain : Tidak bisa menguasai diri, cari selingan, dll 17 34.0
5 Pasangan terlalu mendominasi 4 8.0
Total 50 100.0
1. Persepsi Terhadap Perselingkuhan
Dalam Bahasa Inggris, kata adultery diartikan: Voluntary sexual intercourse of
merried person with one of the opposite sex other than his or he spouse (The Concise
Oxford Dictionary Of Current English, 1964 ).
Menurut Wayne Jakson Adultery is mercly the act of repudiating one’s merriage
vows, rather than unauthorized sexual conduct involving one who is married…(Jakson,
W, 2002). Secara umum dapat diterjemahkan bahwa perselingkuhan adalah hubungan
seksual sukarela oleh seorang yang terikat perkawinan dengan orang yang bukan
suami/istrinya.
Ketidaksetiaan dalam perkawinan merusak perkawinan dan keluarga serta sering
mengakibatkan perceraian. Kenyataanya delapan dari sepuluh orang Amerika mencela
perselingkuhan. Kebanyakan masyarakat menganggap selingkuh itu dosa dan mengetahui
8
bahwa perselingkuhan itu memicu perceraian. Masyarakat kita masih menganggap
selingkuh sebagai affair di luar perkawinan.
Seringkali berlawanan dari kasus yang serupa. Ketika penyelewengan sexual tidak
dapat terungkap, peneliti sering mengatakan , “Apa yang dia lihat dalam diri pasangan
selingkuhnya ?”. Seringkali sex adalah lebih baik di rumah, dengan pasangan resmi
(suami/istri) sedikitnya sama attraktifnya dengan pasangan selingkuh.
Kecantikan, ketampanan, atau sensual biasanya tidak merupakan masalah utama.
Pasangan selingkuh tidak selalu terpilih karena mereka cantik, lebih tampan, atau lebih
seksi. Mereka terpilih untuk alasan semacam kekuatan dan bukan alasan seksual.
Biasanya dalam banyak kasus, wanita lain atau pria lain di dalam hubungan
perselingkuhan dijumpai bahwa perselingkuhan bukan karena masalah seksualitas, tetapi
lebih pada diperolehnya pemenuhan kebutuhan dari pasangan selingkuhnya, yang tidak
dia dapatkan dalam perkawinannya.
Dr Williard Harley menguraikan daftar lima kebutuhan utama pria dan wanita
dalam bukunya His Needs, Her Needs : Building an affair – Proof Marriage. Ia percaya
bahwa kebutuhan yang tidak diperoleh dari pasangannya merupakan penyebab utama
seseorang berselingkuh. Kekurangan pemenuhan salah satu kebutuhan emosional dasar
menyebabkan adanya daerah kosong dalam kehidupan seseorang dan mereka mencari
pemenuhannya di luar perkawinan, walau bagaimanapun kuatnya moral atau agama yang
dipegangnya.
Beberapa buku psikologi dan majalah wanita menyatakan affair di luar
perkawinan merupakan hal yang positif. Mitos ini menyatakan affair dapat menyegarkan
perkawinan yang sudah tumpul. Tergantung pada sumber yang diacu, sebuah
perselingkuhan akan : membuat seseorang menjadi pencinta yang lebih baik, membantu
mereka yang berada dalam mid-life crisis, membawa kesenangan dalam kehidupan atau
9
membawa kegembiraan kembali dalam kehidupan perkawinan. Selanjutnya,
perselingkuhan mungkin memberikan lebih dalam hal sex, tetapi hal ini juga memberikan
penularan penyakit seksual.
2. Perselingkuhan : Konsekuensi dan Faktor-faktor Penyebab
Perselingkuhan biasanya mempunyai konsekuensi yang menghancurkan secara
pribadi dan keluarga. Perselingkuhan menghancurkan kepercayaan, keintiman dalam
perkawinan, serta harga diri. Hal ini menghancurkan keluarga, merusak karier, dan
meninggalkan kepedihan yang berkepanjangan. Kepedihan emosional yang dirasakan
oleh anak seharusnya cukup membuat seseorang untuk menghentikan tindakannya dan
menghitung akibatnya sebelum hal ini terlalu terlambat.
Walaupun ketika perselingkuhan yang dilakukan tidak pernah terungkap, akibat
emosional juga turut menyertai. Sebagai contoh, seorang yang berselingkuh akan
kehilangan keintiman dalam perkawinan. Mereka memperdaya pasangan resminya dan
menjadi tidak tulus mengenai perasaan dan tingkah lakunya. Psikologis Frank Pittman
mengatakan “ The infidelity is not in sex, necessarily, but in the secrecy. It isn’t whom
you lie with. It’s whom you lie to “.
Selingkuh dapat berakhir dengan perceraian, hanya sekitar 35% dari pasangan
dapat rujuk kembali setelah terungkapnya perselingkuhan; sedangkan 65% berakhir
dengan perceraian. Barangkali tidak ada yang dapat merusak sebuah perkawinan lebih
cepat dari penyelewengan. (Anderson, K., 2002).
Frank Pittman dalam “ Private Lies : Infidelity and The Betrayal Of Intimacy”
menemukan dalam studinya terhadap beberapa pasiennya yang pernah melakukan
perselingkuhan bahwa pelaku selingkuh dalam kehidupan kesehariannya sebenarnya
mempunyai kehidupan seksual yang baik, tetapi hal tersebut terjadi berawal dari
10
perkawinan dengan sedikit atau tidak adanya keintiman. Ia menyimpulkan bahwa
“Perselingkuhan tiga kali lebih disukai untuk pencarian teman baik daripada suatu
pencarian orgasme yang lebih baik “.
Sex mungkin tidak dilibatkan dalam beberapa perselingkuhan yang terjadi.
Hubungan mungkin hanya hubungan emosional. Perselingkuhan yang melibatkan hati
dan perasaan biasanya terjadi lebih berbahaya daripada perselingkuhan yang hanya
bersifat fisik. Wanita, khususnya cenderung untuk meninggalkan suaminya ketika
mereka merasakan terikat akan perasaan emosional yang kuat pada laki-laki lain
(Anderson, K, 2002).
Dari keseluruhan jawaban responden terlihat bahwa persepsi mereka terhadap
perselingkuhan bervariasi, namun sebagian besar mempunyai persepsi bahwa
perselingkuhan adalah suatu tindakan selingkuh yang dilakukan seseorang dengan orang
lain (lawan jenisnya ) yang bukan merupakan pasangan mereka yang sah secara hukum
(82%). Sebagian kecil responden (14%) menjawab dari sudut pandang moralitas, bahwa
selingkuh adalah suatu tindakan yang tidak terpuji.
Sebagian besar responden setuju bahwa tindakan selingkuh mempunyai
konsekuensi terhadap Tuhan berupa sikap sedih dan dosa apakah Tuhan akan memaafkan
dan timbulnya perasaan bersalah yang berkepanjangan terhadap diri sendiri , anak,
pasangan dan keluarga serta lingkungan kerja. Hal ini lebih menyangkut pada
konsekuensi moral yang dirasakan seseorang apabila melakukan perselingkuhan.
Perkembangan penjelasan psikologi bahwa perilaku selingkuh yang terjadi pada
orang tua memberikan efek pada anak-anak ketika mereka mencapai usia dewasa. Hanya
sebuah perceraian di dalam keluarga orang tuanya mengakibatkan anak-anak mereka
yang telah dewasa untuk dapat mempertimbangkan perceraian pula. Tingkah laku
11
selingkuh yang dilakukan oleh orang tua akan sama dengan tingkah laku yang diperoleh
oleh keturunannya.
Hanya 4% responden memberikan jawaban bahwa selingkuh itu indah dan
mengasikkan. Hal ini dapat pula dibenarkan walaupun hanya sebagian kecil saja yang
memberikan pendapat ini. Hal ini didukung oleh mitos bahwa selingkuh dapat merupakan
suatu terapi. Beberapa buku psikologi dan majalah wanita mengungkapkan bahwa affair
di luar perkawinan merupakan hal yang positif. Mitos ini menyatakan affair dapat
menyegarkan perkawinan yang sudah tumpul. Sebuah perselingkuhan akan membuat
seseorang menjadi pencinta yang lebih baik, membantu mereka yang berada dalam
middle-life krisis, membawa kesenangan dalam kehidupan atau membawa kegembiraan
kembali dalam kehidupan perkawinan. Tetapi ingat pula bahwa disisi lain dari hal itu
indah dan mengasikkan perselingkuhan mungkin memberikan lebih dalam hal sex, tetapi
hal ini juga memberikan penularan penyakit seksual. Serta tidak ada yang dapat merusak
sebuah perkawinan lebih cepat dari penyelewengan.
Seluruh responden menjawab bahwa perselingkuhan mengakibatkan hilangnya
ketentraman dalam rumah tangga. Penjelasan mengenai dalam hal apakah perselingkuhan
dapat mengakibatkan hilangnya ketentraman rumah tangga, dapat dilihat dalam tabel 2
di bawah ini.
12
Tabel 2. Penjelasan Persepsi Perselingkuhan Mengakibatkan Hilangnya
Ketentraman Rumah Tangga.
No. Penyebab Hilangnya Ketentraman Rumah Tangga Jumlah %
1 Timbul perasaan curiga thd pasangan 2 4.0
2 Berkurangnya rasa percaya dan rasa hormat anggota
keluarga & pasangan
6 12.0
3 Ketidakharmonisan dalam Rumah Tangga 37 74.0
4 Kurangnya perhatian terhadap keluarga 4 8.0
5 Terganggu perkembangan jiwa anak 1 2.0
Total 50 100.0
Perselingkuhan mengakibatkan hilangnya ketentraman dalam rumah tangga
pelaku selingkuh. Hilangnya ketentraman dalam rumah tangga ditunjukkan oleh
ketidakharmonisan dalam rumah tangga (74%), berkurangnya rasa percaya dan rasa
hormat anggota keluarga (12%). Sisanya menjawab bahwa hilangnya ketentraman rumah
tangga ditunjukkan dalam hal kurangnya perhatian pelaku selingkuh terhadap keluarga
(suami/istri, anak dan anggota keluarga lain), timbulnya perasaan curiga terhadap
pasangan dan terganggunya perkembangan jiwa anak.
Seseorang melakukan tindakan selingkuh disebabkan oleh banyak faktor.
Kurangnya atau tidak adanya ketentraman didalam rumah tangga pelaku tindakan
selingkuh, faktor disfungsi seksual, faktor adanya ambisi yang tinggi pasangan baik
suami/istri dalam kehidupan karier dan faktor finansial ( rendahnya pendapatan dan
kebutuhan yang tinggi) dalam kehidupan rumah tangga pasangan, diduga merupakan
faktor-faktor penyebab adanya perselingkuhan.
Sebagaian besar responden menjawab bahwa seseorang melakukan tindakan
selingkuh karena kurang adanya ketentraman dalam rumah tangga pelaku selingkuh. Dari
keseluruhan responden yang diwawancarai 82 % dari keseluruhan responden setuju
mengenai pendapat ini, 4% tidak setuju , dan 14% menjawab tidak tahu/bisa saja/
mungkin saja.
13
Faktor disfungsi seksual diduga juga merupakan penyebab perselingkuhan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 78% dari keseluruhan responden yang diwawancarai
setuju mengenai pendapat ini, dan 20% menjawab tidak tahu/bisa saja/mungkin saja.
Ambisi yang tinggi dari pasangan, baik suami/istri dalam karier, merupakan
faktor penyebab pula adanya tindakan selingkuh. Sebagian besar (60%) setuju dengan
pendapat ini, 20% tidak setuju dan 20% menyatakan tidak tahu dan ragu-ragu.
Secara umum, dalam kehidupan rumah tangga, dukungan finansial sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga. Dalam penelitian ini faktor tersebut
juga dimasukkan sebagai salah satu dari faktor penyebab adanya perselingkuhan.
Kebutuhan rumah tangga tidak lagi bersifat sederhana saat ini. Sejalan dengan
perkembangan zaman, kebutuhan rumah tangga (sandang, pangan, papan) semakin
komplek. Kebutuhan yang tinggi dalam rumah tangga yang tidak diimbangi dengan
pendapatan yang tinggi merupakan penyebab pula perselingkuhan. Bagaimana persepsi
responden mengenai hal ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% responden setuju
terhadap pendapat diatas, 22% responden tidak setuju dan 28% tidak tahu/ ragu-ragu.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Harley, Jr. dan Willard, F bahwa dari
enam ribu bisnis eksekutif terdapat lima orang laki-laki mempunyai affair di luar
pernikahan baik dalam waktu yang panjang maupun dalam waktu singkat. Studi yang
sama menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya pendapatan, meningkat pula
kemungkinan adanya selingkuh, dengan 32% dari laki-laki dengan pendapatan $50.000
setahun atau lebih menyatakan bahwa mereka pernah terlibat perselingkuhan. Pada sisi
lain seperti yang tidak diharapkan oleh seorang sopir, pebisnis dengan orientasi karier
untuk mengetahui bahwa istri mereka menjadi semakin romantis terlibat dengan laki-laki
lain, seringkali dengan seseorang yang ia kenal baik.
14
Godaan wanita lain, moral buruk dan adanya kesempatan juga merupakan faktor
penyebab terjadinya perselingkuhan. Sebagai contoh kasus sekretaris dengan
pimpinannya, kondisi dan situasi yang selalu bersama-sama menyebabkan timbulnya
perselingkuhan.
Umumnya perselingkuhan terjadi antara mereka yang mempunyai relasi
hubungan yang panjang atau bersifat lama, bekerja bersama atau teman baik.
Perselingkuhan bukan terjadi dengan wanita yang memakai bikini yang ditemui di pantai,
dan seringkali wanita yang terlibat tidak selalu dengan seorang yang hebat, yang
dipertimbangkan adalah “orang yang menarik”.
Dalam banyak kasus dijumpai bahwa perselingkuhan bukan karena masalah
seksualitas. Biasanya seseorang berselingkuh karena mereka memperoleh pemenuhan
kebutuhan dari pasangan selingkuhnya, yang tidak dia dapatkan dalam perkawinannya.
Dr Williard Harley menguraikan daftar lima kebutuhan utama pria dan wanita dalam
bukunya His Needs, Her Needs : Building an affair – Proof Marriage. Ia percaya bahwa
kebutuhan yang tidak diperoleh dari pasangannya merupakan penyebab utama seseorang
berselingkuh. Kekurangan pemenuhan salah satu kebutuhan emosional dasar
menyebabkan daerah kosong dalam kehidupan seseorang dan mereka mencari
pemenuhannya di luar perkawinan, walau bagaimanapun kuatnya moral atau agama yang
dipegangnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindakan selingkuh seperti yang
diuraikan di atas dirangkum oleh Dr. Willard Harley sebagai tidak bertemunya
kebutuhan suami dan istri dalam rumah tangga tersebut. Kebutuhan istri meliputi
kebutuhan akan kasih sayang (affection), percakapan (conversation), ketulusan dan
keterbukaan (honesty and openness), komitmen finansial (financial commitment) dan
komitmen keluarga (family commitment). Sedangkan kebutuhan suami meliputi
kebutuhan seksual (sexual fulfillment), kebersamaan dalam rekreasi (recreational
15
companionship), memiliki pasangan yang menarik (an attractive spouse), dukungan
dalam rumah tangga (domestic support) dan kekaguman (admiration).
Dalam buku yang lain, Frank Pittman “ Private Lies : Infidelity and The Betrayal
Of Intimacy” menemukan dalam studi yang ia lakukan sendiri terhadap beberapa
pasiennya yang pernah melakukan perselingkuhan sebenarnya mempunyai kehidupan
seksual yang baik, tetapi hal tersebut terjadi berawal dari perkawinan dengan sedikit atau
tidak adanya keintiman.
3. Perceraian
Hasil penelitian mengenai persepsi terhadap tindak lanjut mengatasi
perselingkuhan (Tabel 3) menunjukkan kecenderungan bahwa responden lebih setuju
untuk tidak ikut berselingkuh (78%), setuju untuk memaafkan pasangan (52%) dan tidak
setuju pada adanya perceraian (62%).
Tabel 3. Persepsi Responden Mengenai Tindak Lanjut Mengatasi perselingkuhan
No. Tindak Lanjut Persepsi Jumlah %
Tidak Setuju 39 78.0
Setuju 3 6.0
1 Ikut Berselingkuh
Tidak Tahu 8 16.0
Total 50 100.0
Tidak Setuju 18 36.0
Setuju 26 52.0
2 Memaafkan Pasangan
Tidak Tahu 6 12.0
Total 50 100.0
Tidak Setuju 31 62.0
Setuju 9 18.0
3 Bercerai
Tidak Tahu 10 20.0
Total 50 100.0
Hal diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden lebih memilih pada
tindakan untuk memaafkan pasangan dan berusaha menghindari sejauh mungkin
timbulnya perceraian setelah terungkapnya pasangan melakukan tindakan selingkuh dan
lebih cenderung pada alternatif untuk menyelesaikan dengan lebih bijaksana.
16
Mengapa perceraian sebagai tindak lanjut mengatasi perselingkuhan, dalam
penelitian ini tidak disetujui oleh 62% responden, dan hasil wawancara mendalam
persepsi responden lebih cenderung untuk memilih jalan lain daripada perceraian .
Elizabeth Fernandez dalam artikelnya mengenai “Stark Legacy Of Pain For Kids
Of Divorce “ : Obat terlarang, alkohol, gangguan rasa takut terhadap keintiman pada
anak yang orang tuanya bercerai. Masa anak-anak mereka dilalui dalam kesepian, masa
remaja yang dilalui dengan obat terlarang dan alkohol, kedewasaan yang dicapai inilah
akibat yang sebenarnya ditinggalkan oleh perceraian.
Studi dari dampak perceraian oleh Challenges Society menemukan bahwa
seperempat abad setelah orang tua mereka bercerai masih merasakan adanya masalah
emosional. Tidak seperti pengalaman orang dewasa, perceraian adalah pengalaman
kumulatif bagi anak-anak. Dampak dari perceraian ini semakin meningkat sejalan dengan
berjalannya waktu. Efek dari perceraian orang tua masih berdampak dalam tiga dekade
pertama kehidupan anak tersebut.
Artikel Molly Dugnan (2000), dalam surat kabar harian Universitas Western
Ontario “The Gazette” mengungkapkan bahwa dampak dari perceraian dapat
meninggalkan begitu banyaknya reruntuhan/puing sesudahnya.
Keluarga, sebagai institusi modern, tidak lagi terikat pada difinisi klasik yang
merupakan gabungan dua biologis dalam ikatan perkawinan, cinta, ikatan sebagai orang
tua. Ketika gabungan diantara pasangan tidak bertahan lagi, hidup dari beberapa anakanak
yang terlibat didalamnya bisa berubah secara drastis. Horald Minden, pensiunan
Profesor York University mengatakan bahwa implikasi dari perceraian adalah berbeda
untuk anak-anak tergantung pada usia dan gender.
Rupanya hal ini begitu dekat dalam kehidupan, seperti anak laki-laki mempunyai
kesulitan dan menjadi agresif dan sulit, karena anak laki-laki tidak banyak bicara atau
17
berbagi masalah dengan yang lain. Dalam masa remaja, bagaimanapun, anak perempuan
(dari orang tua yang bercerai) mempunyai kesulitan berkaitan dengan lawan jenisnya dan
akhirnya hamil lebih cepat daripada anak-anak perempuan yang berasal dari keluarga
yang utuh.
Rod Beaujot, Professor Sosiologi, Universitas Western menspekulasi bahwa
perceraian menempatklan anak-anak dalam kontek dimana mereka tidak siap untuk
menghadapi hal tersebut. Mereka ditempatkan pada situasi harus mengerti situasi dari
orang tua mereka pada usia ketika seringkali mereka tidak bisa memahami bahwa ini
adalah situasi orang tua mereka yang membutuhkan bantuan. Ini menempatkan mereka
dalam bingkai waktu yang lebih tua (daripada usia mereka). Perceraian menjadi masalah
yang nyata pula bagi mahasiswa di perguruan tinggi, mereka menghadapi tekanan dari
sekitar mereka. Ini memberikan efek bagi kewajiban kegiatan akademik dan tingkat
stress.
Dampak dari perceraian akan berperan dalam jalan yang berbeda, tergantung pada
usia anak. 75% dari remaja yang terlibat pembunuhan berasal dari keluarga berantakan.
Anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang berantakan mempunyai kemungkinan
lebih banyak (tiga kali lebih banyak) untuk gagal di sekolah, mengalami masalah
emosional dan bunuh diri serta mereka mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk
mengalami kekerasan anak.
Terlihat hubungan yang erat diantara anak-anak dari orang tua yang bercerai
untuk mempunyai tingkah laku yang disfungsional (dysfunctional behaviour), kehamilan
dini dan perkawinan yang gagal di masa depan.
Perceraian berhubungan dengan konsekuensi psikologi, emosional, ekonomi dan
pisik. Anak-anak yang tinggal di lingkungan seperti itu benar-benar tidak belajar banyak
18
mengenai harmoni dan apa yang dipertaruhkan untuk kebahagian dan hubungan yang
sukses.
B.D. Schmitt, M.D. (1999) mengungkapkan dampak perceraian terhadap anak
berbeda menurut usia. Anak Pra Sekolah “Preschool Child” ( 3 – 6 Tahun); Usia Sekolah
“The Older School – Aged” ( 6-9 Tahun) dan Usia Sekolah (9 – 12 Tahun).
Anak pra sekolah cenderung memiliki keterbatasan dan kesalahan persepsi
mengenai perceraian. Mereka memiliki sifat ego yang tinggi dan kaku mengenai hal
benar dan salah. Karenanya ketika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, mereka
biasanya menyalahkan diri mereka sendiri berdasarkan dugaan kelakuan yang tidak baik
yang telah mereka lakukan. Anak usia ini seringkali menafsirkan kehadiran orang tua
sebagai suatu penolakan personal, atau kekhawatiran bahwa mereka juga akan menjadi
terbuang/terkorbankan. Pada tahap masa kecil ini juga sifat terbentuk oleh fantasi. Anak
mungkin mengingkari kenyataan dan sangat mengharapkan orang tuanya bersatu
kembali. Disamping itu, mereka pada umumnya kembali berkelakuan seperti bayi;
menghisap jempol, ngompol, pemarah, melengket dgn selimut atau mainan favoritnya.
Mereka secara umum menjadi takut terhadap sisi gelap dari sesuatu atau perpisahan dari
sesuatu hal.
Tingkah laku yang berhubungan dengan perceraian pada anak usia sekolah ( 6 –
9 tahun) , pada saat anak mencapai usia sekolah, mereka tidak lagi mengatasi dengan
mengingkari realitas dari perceraian. Mereka sepenuhnya sadar menerima sakit dan
kesedihan, benar-benar merindukan kerukunan kembali. Mereka cenderung memandang
hidup dalam sisi hitam dan putih, dan cenderung menyalahkan salah satu dari orang tua
sebagai penyebab perpisahan. Anak laki-laki khususnya berdukacita atas kehilangan
ayahnya dan seringkali melimpahkan kemarahan pada ibunya.
19
Sedangkan pada anak usia sekolah (9 – 12 tahun), mereka biasanya bereaksi
terhadap perceraian dengan kemarahan. Anak-anak kemungkinan menjadi sangat kritikal
dan benci terhadap keputusan cerai orang tua mereka. Seperti anak usia sekolah, mereka
mungkin selanjutnya menyalahkan kekakuan/kekerasan salah satu atau kedua orang
tuanya, dan memperlihatkan rasa tidak suka mereka terhadap kencan baru orang tua
mereka. Mereka juga mungkin benci pada pengurus rumah tangga atau pengurus anak.
Anak-anak pada usia tahap perkembangan tidak suka lebih menonjol diantara teman
sebaya mereka dan umumnya merasa malu atau merasa telah tertimpa bencana karena
perceraian.
Mereka cenderung mempunyai perhatian yang sangat praktis mengenai kehidupan
keluarga hari demi hari, mereka khawatir mengenai keuangan keluarga dan apakah
mereka merupakan sebuah aliran atas pendapatan orang tua mereka. Mereka juga
memperoleh kemampuan untuk menegaskan dan khawatir mengenai bagaimana orang
tua mereka menanggulanginya. Mereka mungkin menutupi perasaan mereka yang
sebenarnya melalui kenampakan besar mulut atau menyibukkan diri dengan berbagai atau
begitu banyak aktivitas.
Seringkali alasan kuat untuk mempertahankan rumah tangga dan mengindari
perceraian adalah adanya pertimbangan terhadap kelangsungan hidup anak dan
pertimbangan perkembangan jiwa anak akibat dari perceraian. Perkembangan emosional
anak secara langsung berhubungan dengan perhatian, kehangatan dan hubungan dengan
kedua orang tua secara berkesinambungan.
Studi yang dilakukan oleh Judith S. Wallerstein dan Joan B. Kelly (1980)
menyatakan bahwa 90% anak-anak yang kedua orang tua bercerai mengalami goncangan
emosional ketika perceraian terjadi, rasa sedih yang sangat dalam dan perasaan khawatir.
50 % merasa ditolak dan terbuang, dan memang hal itu ditunjukkan oleh hampir setengah
20
dari ayah mereka yang tidak pernah mengunjungi anak-anaknya selama tiga tahun setelah
perceraian. Sepertiga dari anak laki-laki dan perempuan merasa takut terbuang oleh
orang tua mereka dan 66% mengalami tahun-tahun tanpa orang tua. Sangat signifikan
bahwa 37% anak-anak merasa lebih tidak bahagia setelah 5 tahun terjadi perceraian dari
pada anak-anak yang orang tuanya telah mengalami perceraian selama 18 bulan. Dengan
kata lain, waktu tidak dapat menyembuhkan luka mereka, sehingga orang tua cenderung
menghindari perceraian sebagai pilihan tindak lanjut mengatasi perselingkuhan
mengingat dampaknya terhadap masa depan anak.
KESIMPULAN
Hasil uji khi kuadrat menunjukkan untuk perbedaan tingkat pendidikan, umur,
status pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran, tidak mempengaruhi persepsi mereka
terhadap konsekensi perselingkuhan (konsekuensi terhadap Tuhan; pasangan dan
keluarga; teman; lingkungan kerja serta terhadap diri sendiri).
Sebagian besar responden setuju bahwa tindakan selingkuh mempunyai
konsekuensi terhadap Tuhan berupa sikap sedih dan perasaan berdosa apakah Tuhan akan
memaafkan dan timbulnya perasaan bersalah yang berkepanjangan terhadap diri sendiri,
anak, pasangan, keluarga dan lingkungan kerja, dimana hal ini lebih menyangkut pada
konsekuensi moral yang dirasakan seseorang apabila melakukan perselingkuhan.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor dominan yang menyebabkan
terjadinya perselingkuhan meliputi : kurangnya komunikasi antara pasangan (22%),
faktor ekonomi (16%), kurang perhatian pasangan (terutama untuk kebutuhan batin)
(20%), pasangan terlalu mendominasi (8%) serta faktor lain ( kurang penguasaan diri,
cari selingan, dll) dijawab oleh 34% dari keseluruhan responden yang diteliti.
21
Seluruh responden mempunyai persepsi bahwa perselingkuhan mengakibatkan
hilangnya ketentraman dalam rumah tangga. Penjelasan mengenai dalam hal apakah
perselingkuhan dapat mengakibatkan hilangnya ketentraman rumah tangga ditunjukkan
oleh 74% responden mempunyai persepsi karena tidak adanya keharmonisan dalam
rumah tangga, berkurangnya rasa percaya dan rasa hormat anggota keluarga dan
pasangan (12%), kurangnya perhatian terhadap keluarga (8%) dan timbulnya perasaan
curiga terhadap pasangan (4%).
Persepsi mengenai tindak lanjut mengatasi perselingkuhan sebagian besar tidak
setuju untuk ikut berselingkuh dan bercerai, tetapi lebih dari 50% responden setuju untuk
memaafkan pasangannya. Penelitian menunjukkan hal ini disebabkan mengingat dampak
perceraian akan menimbulkan luka mendalam terhadap anak dan bersifat kumulatif.
Dampak perceraian sebagian besar bersifat negatif terhadap anak, sehingga sebagian
besar responden tidak setuju mengambil perceraian sebagai tindak lanjut mengatasi
perselingkuhan dan lebih cenderung untuk memaafkan pasangannya. Seringkali alasan
kuat untuk mempertahankan rumah tangga dan mengindari perceraian adalah adanya
pertimbangan terhadap kelangsungan hidup anak dan pertimbangan perkembangan jiwa
anak akibat dari perceraian. Bagaimanapun perkembangan emosional anak secara
langsung berhubungan dengan perhatian, kehangatan dan hubungan dengan kedua orang
tua secara berkesinambungan.